Minggu, 06 September 2020

Membaca Bahasa Cinta

Membaca Bahasa Cinta[1][2][3]

(Hal-40) Komunikasi nonverbal memang unik. Di satu sisi, ekspresi non verbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Di satu sisi, ekspresi nonverbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Pada sisi lain, komunikasi jenis ini juga menyimpan potensi kesalahpahaman yang besar. Selain berdimensi budaya, komunikasi nonverbal juga sangat personal, dimungkinkan  berbeda dengan konvensi sosial yang ada. Seperti orangtua mencintai kita, betapa uniknya.



Setiap orangtua punya gaya dan cara sendiri dalam mencintai kita. Karena banyak diungkapkan secara nonverbal, kita sering salah memahaminya. Meminjam istilah Edward T Hall, mereka lebih banyak menggunakan ‘bahasa senyap’ (silent language). Tak berkata-kata, tetapi ekspresi cinta itu selalu ada, melalui banyak cara.

Orangtua, baik ayah ataupun ibu, kadang mengungkapkannya dalam dimensi ruang. Mereka ingin dekat dengan kita secara fisik, misalnya duduk bersebelahan dengan kita, layaknya orangtua yang ingin selalu menimang atau memangku anaknya. Selalu ingin membersamai aktivitas kita. Saat kita tumbuh dewasa, keinginan itu kadang terasa menjengkelkan. Seperti keresahan seorang ibu ketika anaknya enggan diantarkan ke batas kota untuk suatu perjalanan jauh. “Aku sudah besar, Ma, gak usah diantar-antar segala,” kata sang anak sewot. Padahal, sang bunda hanya ingin mengekspresikan cintanya.

Ekspresi cinta itu juga berdimensi materi, betapapun sederhananya. Memberi, selalu menjadi ekspresi cinta tersendiri. Begitupun bagi orangtua. Usia yang semakin senja, tubuh yang kian renta, tak menghalangi niatnya untuk terus memberi. Ini lebih sekadar nilai barang. Maka betapapun rendahnya nilai nominal barang itu, sejatinya adalah ungkapan cinta yang mendalam. Seperti kisah seorang ibu yang selalu repot membawakan atau mengirim oleh-oleh untuk anaknya di seberang pulau. Oleh-oleh itu mungkin nampak tak berharga bagi anaknya yang hidup (Hal 41) mapan itu. Tetapi, di balik itu, ada pesan cinta yang tak terkatakan.

Tak ada cinta tanpa perhatian. Maka, orangtua punya caranya sendiri dalam memperhatikan anak-anaknya. Salah satunya, mereka selalu memastikan anak-anaknya dalam kondisi terbaik, tak kurang suatu apa. Seperti kebiasaan seorang ayah di malam hari, sebelum tidur, selalu melongok kamar anak-anaknya. Melihat anak-anaknya yang sudah sudah pulas dibalut mimpi. Dia tak berkata-kata, tapi dari tatapannya itu terpancar kebahagiaan tersendiri, karena anaknya masih ‘utuh’ dan aman. Ketika hubungan itu berjarak, mereka menyempatkan untuk berkomunikasi jarak jauh. Tak banyak yang dikatakan, apalagi ungkapan verbal cinta. Tak ada sama sekali. “Hanya ingin mendengar suaramu,” kata mereka pada anaknya.

Memang ada dimensi budaya, kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan ekspresi cinta itu secara verbal. Ada budaya ‘konteks tinggi’ (high context) yang melatarinya. Tak elok untuk diucapkan, toh mereka telah membuktikan cintanya sejak anak-anak lahir hingga dewasa, bahkan ketika telah lahir cucu dan cicit. Kata-kata bisa jadi justru mendangkalkan kedalaman rasa cinta itu. Tak perlu kata-kata indah, apalagi bunga, layaknya muda-mudi yang dimabuk asmara.

Tak ada salah cara mereka dalam mencintai kita. Masalahnya mungkin ada pada kita, kenapa sering tak paham juga pesan-pesan cinta itu. Di sinilah diperlukan kepekaan atas tanda-tanda (semiotic skill), yakni kemampuan memaknai pesan, khususnya yang berdimensi nonverbal dalam komunikasi. Prinsip dasarnya, tak ada tindakan yang tak bermaksud (unintentionally). Selalu ada makna dalam setiap tindakan.

Dalam konteks itu pupa kita harus bisa memahami fakta bahwa tidak semua orang pandai berartikulasi atau hebat dalam menciptakan suasana untuk mengekspresikan cintanya. Ada seorang istri yang frustasi kenapa suaminya tak romantis sama sekali, atau sebaliknya. Ada harapan yang tak bertaut dalam pasangan itu. Bukan karena suami atau istri itu tak mencintai pasangannya, tapi mereka tak cakap dalam mengungkapkannya. Dalam kasus semacam itu, ekspresi cinta lebih banyak diungkapkan secara nonverbal.

Sulit memaksa orang untuk menjadi romantis, karena sebagiannya sangat berdimensi masa lalu, juga karena karakter (bawaan lahir) dari yang bersangkutan. Kearifan pasangan menjadi sangat relevan. Coba perhatikan dalam sudut pandang yang berbedabagaimana cinta itu diungkapkan. Mungkin lewat kerja keras, melalui kesetiaan total, atau kepercayaan mereka. Mungkin mereka tidak pandai membuat puisi, tetapi mereka selalu memenuhi janji. Mungkin mereka tak pernah memberikan kita mawar, tetapi mereka selalu membuktikan dirinya sebagai orang yang benar.

Akhirnya kita harus sadar bahwa ternyata banyak jalan untuk menautkan hati. Artikulasi kata memang bisa membantu, tetapi ketulusan akan membuatnya abadi. Cinta tak semata janji, tetapi juga pembuktian. Bahasa cinta, betapapun rumitnya, pasti bisa dipahami.

 

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 242 Th.12, Muharram  1432H, 30 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar