(Hal-40) Komunikasi nonverbal
memang unik. Di satu sisi, ekspresi non verbal bisa sangat kaya pesan, melebihi
kata-kata. Di satu sisi, ekspresi nonverbal bisa sangat kaya pesan, melebihi
kata-kata. Pada sisi lain, komunikasi jenis ini juga menyimpan potensi
kesalahpahaman yang besar. Selain berdimensi budaya, komunikasi nonverbal juga
sangat personal, dimungkinkan berbeda dengan
konvensi sosial yang ada. Seperti orangtua mencintai kita, betapa uniknya.
Setiap orangtua punya gaya dan cara sendiri dalam mencintai kita. Karena
banyak diungkapkan secara nonverbal, kita sering salah memahaminya. Meminjam
istilah Edward T Hall, mereka lebih banyak menggunakan ‘bahasa senyap’ (silent
language). Tak berkata-kata, tetapi ekspresi cinta itu selalu ada, melalui
banyak cara.
Orangtua, baik ayah ataupun ibu, kadang mengungkapkannya dalam dimensi
ruang. Mereka ingin dekat dengan kita secara fisik, misalnya duduk bersebelahan
dengan kita, layaknya orangtua yang ingin selalu menimang atau memangku
anaknya. Selalu ingin membersamai aktivitas kita. Saat kita tumbuh dewasa,
keinginan itu kadang terasa menjengkelkan. Seperti keresahan seorang ibu ketika
anaknya enggan diantarkan ke batas kota untuk suatu perjalanan jauh. “Aku sudah
besar, Ma, gak usah diantar-antar segala,” kata sang anak sewot.
Padahal, sang bunda hanya ingin mengekspresikan cintanya.
Ekspresi cinta itu juga berdimensi materi, betapapun sederhananya. Memberi,
selalu menjadi ekspresi cinta tersendiri. Begitupun bagi orangtua. Usia yang
semakin senja, tubuh yang kian renta, tak menghalangi niatnya untuk terus
memberi. Ini lebih sekadar nilai barang. Maka betapapun rendahnya nilai nominal
barang itu, sejatinya adalah ungkapan cinta yang mendalam. Seperti kisah
seorang ibu yang selalu repot membawakan atau mengirim oleh-oleh untuk anaknya
di seberang pulau. Oleh-oleh itu mungkin nampak tak berharga bagi anaknya yang
hidup (Hal 41) mapan itu. Tetapi, di
balik itu, ada pesan cinta yang tak terkatakan.
Tak ada cinta tanpa perhatian. Maka, orangtua punya caranya sendiri dalam
memperhatikan anak-anaknya. Salah satunya, mereka selalu memastikan anak-anaknya
dalam kondisi terbaik, tak kurang suatu apa. Seperti kebiasaan seorang ayah di
malam hari, sebelum tidur, selalu melongok kamar anak-anaknya. Melihat
anak-anaknya yang sudah sudah pulas dibalut mimpi. Dia tak berkata-kata, tapi
dari tatapannya itu terpancar kebahagiaan tersendiri, karena anaknya masih
‘utuh’ dan aman. Ketika hubungan itu berjarak, mereka menyempatkan untuk
berkomunikasi jarak jauh. Tak banyak yang dikatakan, apalagi ungkapan verbal
cinta. Tak ada sama sekali. “Hanya ingin mendengar suaramu,” kata mereka pada
anaknya.
Memang ada dimensi budaya, kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan
ekspresi cinta itu secara verbal. Ada budaya ‘konteks tinggi’ (high context)
yang melatarinya. Tak elok untuk diucapkan, toh mereka telah
membuktikan cintanya sejak anak-anak lahir hingga dewasa, bahkan ketika telah
lahir cucu dan cicit. Kata-kata bisa jadi justru mendangkalkan kedalaman rasa
cinta itu. Tak perlu kata-kata indah, apalagi bunga, layaknya muda-mudi yang
dimabuk asmara.
Tak ada salah cara mereka dalam mencintai kita. Masalahnya mungkin ada pada
kita, kenapa sering tak paham juga pesan-pesan cinta itu. Di sinilah diperlukan
kepekaan atas tanda-tanda (semiotic skill), yakni kemampuan memaknai
pesan, khususnya yang berdimensi nonverbal dalam komunikasi. Prinsip dasarnya,
tak ada tindakan yang tak bermaksud (unintentionally). Selalu ada makna
dalam setiap tindakan.
Dalam konteks itu pupa kita harus bisa memahami fakta bahwa tidak semua
orang pandai berartikulasi atau hebat dalam menciptakan suasana untuk
mengekspresikan cintanya. Ada seorang istri yang frustasi kenapa suaminya tak
romantis sama sekali, atau sebaliknya. Ada harapan yang tak bertaut dalam
pasangan itu. Bukan karena suami atau istri itu tak mencintai pasangannya, tapi
mereka tak cakap dalam mengungkapkannya. Dalam kasus semacam itu, ekspresi
cinta lebih banyak diungkapkan secara nonverbal.
Sulit memaksa orang untuk menjadi romantis, karena sebagiannya sangat
berdimensi masa lalu, juga karena karakter (bawaan lahir) dari yang
bersangkutan. Kearifan pasangan menjadi sangat relevan. Coba perhatikan dalam
sudut pandang yang berbedabagaimana cinta itu diungkapkan. Mungkin lewat kerja
keras, melalui kesetiaan total, atau kepercayaan mereka. Mungkin mereka tidak
pandai membuat puisi, tetapi mereka selalu memenuhi janji. Mungkin mereka tak
pernah memberikan kita mawar, tetapi mereka selalu membuktikan dirinya sebagai
orang yang benar.
Akhirnya kita harus sadar bahwa ternyata banyak jalan untuk menautkan hati.
Artikulasi kata memang bisa membantu, tetapi ketulusan akan membuatnya abadi.
Cinta tak semata janji, tetapi juga pembuktian. Bahasa cinta, betapapun rumitnya,
pasti bisa dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar